Oleh:
Nur Wachid*
Kali pertama
menginjakkan kaki di Pulau Bawean yang terbesit dalam angan saya adalah
bagaimana, (a) sejarah Pulau Bawean; (b) kondisi dan potensi alam; (c)
masyarakat dan bahasanya; serta (d) pendidikan. Oleh karenanya, setelah sampai
di tempat tugas sebagai Guru Jatim Mengajar Angkatan II yang digagas YDSF
bekerja sama dengan Unesa di MINU 29 Dedawang, saya mencoba menggali informasi
dari pribumi. Kebetulan saya disediakan tempat rumah kosong milik Pak Habibie
yang beliaunya dulu juga pernah beberapa waktu mengajar di madrasah tempat saya
bertugas. Beliau juga asli orang Bawean, selain itu beliau juga tinggal di
samping rumah yang saya tempati.
Hampir setiap malam, di
sela-sela memberikan tambahan pelajaran untuk anak-anak, ada saja orang yang
berkunjung ke tempat tinggal saya, entah hanya mengobrol sambil melihat
anak-anak belajar, atau melepaskan penat setelah seharian bekerja. Di situlah
saya mendapatkan keuntungan, selain mendapatkan saudara di satu sisi, saya juga
dapat menggali informasi terutama berkaitan dengan Bawaen pada sisi lainnya.
Sekilas
Sejarah Pulau Bawean
Berdasarkan legenda
yang ditulis Zulfa Usman (Adam, 2005: 16), pada mulanya Pulau Bawean bernama
Pulau Majeti atau Pulau Majdi. Dikatakan seperti itu sebab pulau tersebut
berbentuk bulat seperti lempengan uang logam. Dalam perkembangannya, pulau
tersebut lebih masyhur dengan sebutan Pulau Bawean. Secara etimologis, kata Bawean
berasal dari bahasa Sansekerta “BA” artinya sinar, “WE” berarti matahari, dan
“AN” artinya ada. Jadi Bawean berarti ada sinar matahari. Nama tersebut menurut
sejarah didapatkan dari kisah perjalanan tentara Kerajaan Majapahit, terutama
ketika Majapahit berada pada masa emas di era Sang Patih Gajah Mada.
Kisah yang ditulis
Zulfa Usman kurang lebih begini, pada saat Sang Patih Gajah Mada bermaksud
menyatukan nusantara dengan sumpah palapa, ia mengirim pasukan-pasukan armada
laut ke berbagai negeri seberang. Dalam perjalanan suatu rombongan pasukan
terkatung-katung di Laut Jawa. Angin badai kencang dan kabut tebal membuat
mereka terlunta-lunta selama beberapa minggu. Setelah angin reda dan kabut
menghilang, terlihat secara samar-samar sebuah gugusan gunung. Semakin lama
gugusan tersebut semakin jelas, karena sorotan sinar matahari. Pasukan mendekat
dan mendarat di sana.
Ternyata, kedatangan
pasukan tersebut disambut hangat oleh penduduk, bahkan mereka diberi bantuan.
Tentara Majapahit merasa senang dan bahagia karena terlepas dari maut. Di tengah
kebahagiaan terlontarlah kata-kata indah “Ba-we-an”. Semenjak itulah Pulau
Bawean menjadi nama pulau ini. Legenda tersebut merupakan satu dari sekian
banyak legenda seputar Pulau Bawean yang sudah tidak banyak diketahui oleh orang
asli Bawean, terutama generasi sekarang.
Kondisi
dan Potensi Alam
Secara geografis, Pulau
Bawean terletak di tengah Laut Jawa tepatnya antara Pulau Jawa dengan Pulau
Kalimantan, sehingga semua arah Pulau Bawean berbatasan langsung dengan Laut
Jawa. Secara administratif wilayah Pulau Bawean termasuk dalam pemerintahan Kabupaten
Gresik Provinsi Jawa Timur, jarak ke pusat kabupaten sekitar 120 km atau 80 mil.
Perjalanan ke Pulau Bawean untuk sementara ini hanya dapat ditempuh menggunakan
kapal, sebenarnya transportasi udara dimungkinkan sebab bandara udara sedang
dalam penuntasan pembangunan namun belum dapat beroperasi. Laut Bawean terkenal
dengan laut yang ganas, badai gelombang seringkali terjadi terutama pada musim
barat antara Oktober sampai April.
Secara astronomis Pulau
Bawean berada antara 112º-45º BT dan 5º-45º LS. Pulau yang terkenal dengan
sebutan Boyan ini memiliki luas wilayah 19.890 ha atau 19.627 km, terbagi
menjadi 2 kecamatan, yakni Kecamatan Sangkapura terdiri dari 17 desa, dan
Kecamatan Tambak terbagi menjadi 13 desa. Sementara jumlah penduduk kurang
lebih sekitar 90 ribu jiwa. Jika ditinjau dari struktur tanah, Pulau Bawean
terbentuk dari sisa gunung berapi tua, di mana 85% wilayah Pulau Bawean terdiri
dari lapisan sedimen batuan tua yang berkomposisi batu kapur, lapisan pasir,
tanah liat, dan batu. Maka tidak heran jika Pulau Bawean kondang dengan
keberadaan 99 bukit, beberapa gunung misalnya, Gunung Besar, Gunung Nangka,
Gunung Lumut, Gunung Totoghi, serta Gunung Tinggi yang merupakan gunung
tertinggi dengan ketinggian 655 m.
Pulau Bawean kaya
dengan potensi alam, yakni berupa hasil laut yang berlimpah dan potensi wisata
yang masih alami. Di Desa Teluk Jatidawang saja tempat saya bertugas, ada
sekitar 50 rumah produksi ikan pindang yang beroperasi setiap harinya. Hasil
ikan didapat dari nelayan lokal, ikan yang banyak didapat di antaranya Ikan
Tongkol, Ikan Tengiri, Ikan Kerapu, Ikan Layang, serta Ikan Benggol yang
dijadikan ikan pindang. Sementara untuk keperluan produksi yang menjadi catatan
saya sekaligus kendala produksi ikan pindang adalah tenaga kerja dan gerabah
berupa kendil yang menjadi wadah ikan
pindang serta teknologi produksi masih dikerjakan secara tradisional. Pernah
saat berkunjung ke rumah produksi ikan pindang milik Pak Nur Sahid saya bertanya
demikian, “mengapa harus memakai kendil sebagai
wadah? Mungkin bisa diganti dengan wadah lain?”
Cita rasa ikan pindang
yang menjadi nilai, jadi harus dipertahankan. “Rasanya akan lain, jika memakai
plastik atau wadah lainnya. Kendil ini berfungsi mempertahankan rasa alami ikan
laut yang diawetkan melalui proses pindang,” Kata laki-laki paruh baya asal
Demak, Jawa Tengah penuh yakin.
Proses pemindangan ikan
tidak memerlukan waktu lama, cukok (ikan)
biasa orang Bawean menyebutnya ditata sedemikian rupa melingkar dalam kendil
yang berdiameter kira-kira 8 cm. Satu kendil biasanya muat sekitar 12 sampai 16
ikan, tergantung ukuran ikan lalu diberi air sedikit sebelum direbus di atas
tungku yang dipanaskan dengan kayu bakar selama kurang dari 20 menit. Satu tungku
kurang lebih dapat memuat 30-an kendil. Proses selanjutnya, setelah masak,
kendil berisi Ikan Benggol itu
diangkat dari tungku untuk selanjutnya ditaburi garam secukupnya, bisa jadi 2
genggam tangan orang dewasa. Selanjutnya, kendil dibungkus menggunakan daun
jati, ikan pindang khas Bawean siap dipasok ke luar daerah, kebanyakan dipasok
ke Jawa.
Bahan produksi ikan
pindang mengisyaratkan kekuatan alam yang sesungguhnya. Artinya, semua bahan
didapat dari alam, mulai bahan utamanya yaitu ikan Benggol dan garam anugerah Tuhan di laut, kendil dari tanah liat dan daun
jati anugerah Tuhan di darat. Bahan baku daun jati dipasok oleh orang-orang
sekitar Desa Teluk Jatidawang. Pada tahun 1934 banyak areal pegunungan yang
pohon aslinya dipangkas lalu diganti dengan pohon jati. Jadi, tidak terlalu
sulit memerolehnya, sebab Pohon Jati tumbuh berlimpah di hutan.
Sementara, kendil
dipasok dari beberapa rumah produksi gerabah di Kecamatan Sangkapura, dan
beberapa wilayah dari Jawa seperti Lamongan, Tuban. Namun, kenyataannya hal itu
belum mencukupi kebutuhan akan bahan baku kendil. Berdasarkan hasil survei
sementara, di Desa Teluk Jatidawang saja setidaknya membutuhkan 3 juta pasokan
kendil setiap tahunnya, hanya 1 juta kendil yang dapat dipasok. Berarti masih terdapat
kekurangan pasokan sekitar 2 juta kendil. Lantas sisa ikan yang belum mampu
digarap melalui proses pindang tersebut oleh nelayan harus terpaksa dijual ke
tengkulak Jawa yang harganya relatif di bawah harga standar alias murah. Barangkali
temuan tersebut merupakan salah satu peluang dari sekian banyak potensi yang belum
tergali yang dapat dikembangkan di Desa Teluk Jatidawang untuk sementara waktu
ini.
Pada bidang peternakan
yang menjadi tumpuan masyarakat Bawean adalah sapi, kerbau, kambing, dan kuda.
Dahulu, sapi Bawean sampai dikirim ke beberapa tempat di Indonesia seperti
Tanjung Pinang, Bangka, dan lainnya, tetapi belakangan pengiriman sapi tidak
ada lagi, mungkin semakin sedikit orang yang memelihara ternak, kebanyakan
generasi muda lebih nyaman merantau dibanding mengembangkan potensi pada bidang
peternakan ini.
Budi daya yang masih
dirintis untuk dikembangkan adalah budi daya rumput laut. Dapat dilihat saat
berkunjung ke Pulau Bawean beberapa tempat seperti Sumur-sumur Komalasa, Teluk
Jatidawang, Tanjung Anyar Lebak menanam rumput laut. Hasil produksi untuk
sementara dipasok terbatas hanya sekitar Surabaya. Seandainya budi daya ini
mendapat perhatian lebih untuk dikembangkan lebih lanjut, barangkali Bawean
dapat saja seperti Lombok dan beberapa pantai lainnya yang menjadi pemasok
rumput laut.
Di sektor wisata,
eksotisme alam Bawean mumpuni untuk dikembangkan lebih lanjut. Di Pulau Bawean
terdapat wisata bahari, wisata alam, dan wisata religi. Wisata bahari berupa
pantai yang pasirnya putih dan air lautnya membiru disepanjang pesisir Pulau
Bawean di antaranya, pantai Bayangkari, Pasir Putih, Pantai Ria, serta
pulau-pulau kecil seperti Pulau Cina, Pulau Noko, Tajung Gaang, Pulau Gili.
Pulau-pulau kecil tersebut dapat dinikmati dari jalan utama yang mengitari
Pulau Bawean, atau kalau ingin berkunjung dapat menyewa kapal nelayan. Wisata
alam di antaranya Telaga Kastoba, air terjun laccar, dan Kuduk-kuduk.
Sementara untuk wisata
religi antara lain makam Waliyah Zainab, makam Maulana Umar Mas’ud, makam Sunan
Bonang (jujuk Tampo), dan jujuk Champa serta budaya agama masyarakat seperti
tari Samman, Mandiling, dan upacara Maulid Nabi Saw. Wisata-wisata Pulau Bawean
ke depan barangkali patut disejajarkan dengan tempat wisata seperti Taman Laut
Bunaken, Raja Ampat, dan Pulau Dewata, bahkan bisa jadi lebih.
Masyarakat
dan Bahasa
Masyarakat Pulau Bawean
sangat menjunjung tinggi nilai agama, hal itu dapat dilihat dari jumlah 100% masyarakat
Pulau Bawean yang menganut agama Islam. Sampai saat ini, belum ditemukan kepercayaan
lain yang dianut masyarakat selain agama Islam. Hal itu mengingatkan kita pada
jasa Maulana Umar Mas’ud yang juga terkenal dengan sebutan Pangeran Perigi
(cucu Sunan Drajad) yang singgah ke Pulau Bawean sekitar abad XVI (Badruddin,
1985: 15).
Berdasarkan tradisi
lisan (Adam, 2005: 18-19), diceritakan bahwa Maulana Umar Mas’ud pertama
mendarat di pelabuhan tua Kumalasa dengan menaiki seekor ikan dari Madura.
Kedatangan beliau membawa misi menyebarkan agama Islam ke penduduk setempat.
Namun, kedatangannya tidak disukai Raja Babileono, seorang raja yang dihormati
dan disegani penduduk yang pada waktu itu terpengaruh faham animisme. Maulana
Umar Mas’ud selalu mengajak raja tersebut masuk Islam, namun raja selalu
menolak bahkan menghinanya. Sampai kemarahan raja memuncak, pertarungan antara
keduanya tak terelakkan. Kesempatan tersebut dimanfaatkan Maulana Umar Mas’ud
dengan mengikat perjanjian bahwa siapa yang kalah harus tunduk pada yang
menang, raja pun setuju.
Pertarungan dimulai
disaksikan semua penduduk yang mendukung Raja Babileono. Pertarungan dimulai
dengan unjuk kesaktian. Penduduk tercengang sebab pohon yang dirobohkan raja
dapat dikembalikan seperti semula oleh Maulana Umar Mas’ud. Sementara raja
tidak dapat mengembalikan kerbau yang dirobohkan Pangeran Perigi, tentu
penduduk sekamin tercengang. Amarah menguasai raja dan menghunus pedangnya
namun Pangeran Perigi menangkis dengan tongkatnya. Pedang raja menghunus
tubuhnya sendiri hingga luka dan akhirnya meninggal. Sejak itulah Pangeran
Perigi diangkat menjadi pemimpin dan rakyatnya menganut Islam. Menurut catatan
sejarah, Maulana Umar Mas’ud memerintah antara tahun 1601 – 1630 M.
Organisasi Islam yang
berkembang di Pulau Bawean adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Walaupun NU mendapat dukungan penuh atau mayoritas, sementara Muhammadiyah
menjadi minoritas, tidak ada permasalahan, keduanya dapat berjalan secara
berdampingan. Dengan kata lain, Pulau Bawean telah mapan secara hidup beragama
khususnya Agama Islam. Selain itu, juga dengan adanya banyak pesantren di Pulau
Bawean, terutama keberadaan Pondok Pesantren Hasan Jufri yang cukup ternama di
seantero Bawean. Oleh karenanya, potensi dakwah di daerah ini sangat
dimungkinkan minim.
Mayoritas masyarakat
Bawean terutama di Desa Teluk Jatidawang Kecamatan Tambak, bermata pencaharian
sebagai nelayan dan petani. Pada bulan Juni sampai dengan Desember masyarakat
mencari nafkah di laut. Biasa mereka berangkat pukul 02.00 WIS (Waktu Istiwak atau
waktu sholat) dan baru pulang kira-kira pukul 09.00 WIS. Oiya, maaf, saya
hampir lupa mejelaskan pemakaian waktu di Bawean. Masyarakat di Pulau Bawean
tidak menggunakan aturan WIB, masyarakat menggunakan waktu sholat atau biasa
disingkat WIS. WIS di sini kira-kira 30 menit lebih cepat dari WIB, seumpama di
Jawa pukul 09.30 WIB di Pulau Bawean pukul 10.00 WIS.
Wajar jika kondisi alam
di sini, pukul 05.30 WIS saja sudah sangat panas. Namun, karena wilayah berupa
pesisir dan pegunungan, angin bertiup kencang terutama pada bulan-bulan
sekarang. Sehingga udara terasa sejuk dan segar walaupun panas menyengat.
Sementara itu rentan bulan Januari sampai menjelang Juni, angin tidak terlalu
kencang. Disaat itu pula, masyarakat berganti profesi sebagai petani yakni
bercocok tanam padi dengan sistem persawahan terasering. Karena wilayah di sini
cukup kering, untuk bercocok tanam, masyarakat biasanya menggunakan pengairan
tadah hujan. Hampir dipastikan tidak ada sumur bor atau waduk untuk keperluan
pengairan sawah. Sehingga hasil pertanian hanya cukup untuk konsumsi sendiri.
Bahasa yang digunakan
masyarakat adalah Bahasa Bawean yaitu hampir mirip dengan Bahasa Madura tetapi telah
terintervensi oleh bahasa asing seperti Bahasa Malaysia (Bahasa Melayu) dan
Bahasa Singapura (Bahasa Inggris). Hal itu dapat ditemukan ketika orang Bawean
misalnya menyebut tas dengan kata bag;
sementara bank dengan lafal benk.
Walaupun saya belum
mampu beradaptasi dengan bahasa lokal namun beberapa orang yang berkunjung ke
tempat tinggal saya rata-rata orang yang telah merantau sehingga dapat
menggunakan Bahasa Indonesia. Hanya, orang-orang yang sudah umur (lansia) termasuk
Bu Habibie (Istri Pak Habibie pemilik rumah yang saya tinggali), dan kebanyakan
anak-anak kesulitan berbahasa Indonesia. Jadi, ketika pembelajaran anak-anak
dapat menangkap apa yang saya sampaikan. Namun, dalam berbicara anak-anak
kadang tersendat dan kesulitan memakai Bahasa Indonesia. Bahkan, Alamsya, salah
satu murid kelas 5 yang terkenal nakal dan usil, saat perkenalan berbicara
begini, “Saya tak mau pakai Bahasa Indonesia, pakai Bahasa Bawean aja, saya
bukan orang Indonesia, orang Malaysia,” katanya yang tentu mengejutkanku. Perkataan
tersebut menjadi tanda tanya besar bagi saya, disamping itu juga menjadi PR
besar saya untuk membangkitkan cinta tanah air dalam diri anak-anak.
Pernyataan Alamsya sekaligus
mengingatkan saya saat menggali informasi tentang Pulau Bawean sebelum
berangkat ke sini. Seingat saya, Pulau Bawean terkenal dengan sebutan Pulau
Putri, mengapa demikian? Masyarakat Bawean memiliki kepercayaan bahwa hidup ada
yang kurang rasanya jika tidak merantau, terutama bagi kaum laki-laki. Setelah
menikah biasanya si suami merantau ke Malaysia, Singapura, dan wilayah sekitar
Jawa. Saking banyaknya suami yang merantau, istri banyak yang ditinggal
sendiri, alhasil penghuni Pulau Bawean kebanyakan perempuan maka disebut dengan
Pulau Putri. Oleh karenanya, wajar jika Alamsya berkata demikian sebab
kebanyakan wali murid merantau ke Malaysia.
Pendidikan:
Pelajaran Pertama dan Utama
Perihal kondisi
pendidikan di sini, layak mendapatkan perhatian pemerintah. MINU 29 Dedawang
terletak di Dusun Dedawang, Desa Teluk Jatidawang, Kecamatan Tambak, Pulau
Bawean-Kab. Gresik. Sekolah ini berada di pinggir jalan utama, kurang dari 1 km
sebelah barat (depan sekolah) adalah laut. Dengan komposisi pengajar berjumlah
9 orang (belum termasuk saya) mengajar total 58 murid kelas 1 sampai kelas 6.
Kelas 1 dan kelas 2 dijadikan satu ruang sebab total ruang di sini ada 6 ruang,
5 ruang untuk kelas, sementara 1 ruang dijadikan kantor guru. Seluruh siswa tidak
memegang buku teks untuk semua mata pelajaran. Memang perlu kerja keras
bagaimana menyiasati pembelajaran yang se-efektif mungkin dengan kondisi siswa
yang tidak memegang buku teks.
Ada cerita menarik lain
ketika saya mengajar pertama kali. Waktu itu Senin, 1 September 2014 saya
bangun pagi betul, sebelum adzan shubuh, mungkin saking semangatnya. Setelah
bersiap diri kira-kira pukul 06.30 WIS, saya berangkat ke sekolah dengan
semangat yang menyala. Tiba-tiba bukan kepalang terkejutnya ketika waktu itu
tidak kutemukan guru satupun, di sekolah hanya ada beberapa murid yang sedang
bermain sambil menyapa, “Assalamu’alaikum Pak guru.” Pikirku, apa saya yang
terlalu bersemangat hingga kepagian berangkat ke sekolah. Lama menunggu sambil
becakap dan bermain dengan anak-anak, kira-kira 60 menit kemudian baru satu
persatu guru datang dan membuka kantor guru sebelum bel pelajaran dimulai
berbunyi.
Semua murid berhambur
masuk dalam ruangan, ternyata semua masuk dalam dua ruangan yang sekat
tripleknya dibuka untuk acara perkenalan dengan saya. Saya pun masuk dan
mengenalkan diri, kira-kira sampai jam 11.00 WIS saya selesai berimajinasi
dengan anak-anak sambil bercengkrama di dunia mereka, dunia anak tanpa batas.
Setelahnya, saya keluar kelas dan betapa terkejutnya saya melihat beberapa guru
(maaf, tidak semua guru) klesetan atau
duduk sambil selonjor di lantai depan kantor. Belum lagi, ketika masuk kantor,
hampir seluruh Ibu guru membawa anaknya. “Ini sekolah atau panti asuhan?”
Pikirku dalam hati. Bagaimana mereka dapat mengajar dengan totalitas jiwa jika
anaknya dalam gendongan, belum lagi kalau sedang rewel?
Lagi-lagi, pada hari
berikutnya, saya dikejutkan oleh sikap guru yang mungkin di mataku kurang etis
dilakukan di depan anak-anak. Salah satu Ibu guru saat itu membagi LKS di
sela-sela saya mengajar di kelas 5, beliau melempar buku tersebut ke setiap
anak. “Wah, kok kayak gitu, bagaimana dengan muridnya nanti, bisa jadi
memberikan apapun di pukulkan ke orang lain,” Pikirku sedikit kaget. Ibarat
pepatah mengatakan guru kencing berdiri
murid kencing berlari. Malah, ketika saya memberikan pertanyaan pada
anak-anak, mereka seraya bicara, “Kalau salah nanti jangan marah ya Pak Guru?”
Saya semakin mahfum dengan kondisi psikologi anak di sini, mereka telah
terbiasa di tekan dan dilayani dengan keras oleh pendidik. Jadi mental,
keberanian mereka telah direnggut oleh kekerasan pendidik.
Beberapa malam, saya
merenung, susah tidur, memikirkan nasib anak-anak. Barangkali bantuan pendidik
seperti saya dan teman lain ke daerah terpencil, pelosok memang tujuannya
memberikan angin segar kepada para guru agar mendidik anak dengan hati, di
samping dengan totalitas jiwa. Selain itu, bisa jadi ini menjadi pelajaran dan
peringatan penting untuk diri bahwa dalam mendidik anak-anak, pendidik-lah yang
harus terjun dan masuk ke dunia anak-anak, bukan sebaliknya, anak-anak digiring
ke dunia pendidik (orang dewasa) sebab mereka belum pernah dewasa sementara
pendidik sudah pernah melalui masa anak-anak.
Satu tahun mengajar
selamanya menginspirasi! Mudah-mudahan tidak saja anak-anak yang terinspirasi,
tapi lebih dalam, para pendidik khususnya di tempat tugas serta umumnya
pendidik daerah lain dimanapun berada juga dapat intropeksi diri dan berbenah serta
merenungi hakikat mendidik. Semoga!
Dedawang, Ds. Teluk Jatidawang, Kec.
Tambak, Pulau Bawean-Kab. Gresik
Minggu, 7-19 September 2014