Perjalanan Awal Membuka Jendela Impian Anak Pelosok Negeri


Oleh: Nur Wachid*

Usai pelaksanaan Prakondisi Program Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) Angkatan IV dan Program Jatim Mengajar Angkatan II di Komando Pendidikan Marinir (KODIKMAR) Surabaya 14 hingga 26 Agustus 2014, saya beserta 185 peserta lainnya diterjunkan langsung ke tempat 3T. Saya tergabung dalam Program Jatim Mengajar Angkatan II yang digagas Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) bekerja sama dengan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Prof. Dr. Hj. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd selaku ketua koordinator SM3T Unesa menyampaikan bahwa program ini selain bertujuan sama dengan SM3T yaitu meratakan percepatan pendidikan di daerah 3T, juga bermuatan pemberdayaan terhadap masyarakat. “Misi Jatim Mengajar dan SM3T itu sama, hanya saja Program Jatim Mengajar mendapat tambahan dengan misi dakwahnya,” tegasnya saat memberikan sambutan penutupan Prakondisi.
Jika angkatan sebelumnya, penempatan Dai Mendidik (sebutan untuk pengajar Jatim Mengajar-red) di Kabupaten Ponorogo, Madiun, dan Lamongan, maka tahun ini hanya di Kab. Lamongan dan Ponorogo yang berlanjut mendapat bantuan pendidik, sedangkan lima DM lainnya ditugaskan di Kab. Banyuwangi, Bangkalan, Pulau Bawean, Sampang, dan Pulau Mandangin. Di tempat itulah para pengabdi menekadkan semangat untuk mencerdaskan bangsa demi mencetak generasi emas Indonesia.
Sebenarnya, saya ditempatkan di Pulau Bawean tepatnya di Desa Dedawang Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik. Namun karena penyebarangan Gresik-Bawean terkendala cuaca, saya harus singgah di tempat salah satu teman yang ditugaskan di Desa Durjan Kec. Kokop Kab. Bangkalan sambil menunggu cuaca kembali normal sebelum akhirnya diberangkatkan ke tempat penugasan. 27 Agustus 2014 pertama kali saya menginjakkan kaki di Pulau Madura. Sungguh pengalaman berharga dalam hidup saya sebab baru kali ini melihat dan merasakan alam serta interaksi masyarakat Madura. Eksotisme alam dan kekayaan budaya yang dimiliki Madura akan dapat saya pelajari secara langsung, di antaranya karapan sapi, garam, bahasa Madura, watak dan perangai pribumi yang keras, sate Madura, potong rambut Madura, daerah yang panas, gersang, kering, dan lain sebagainya.
Perjalanan saya dimulai bersama empat peserta lain yang ditempatkan di daerah berbeda, yaitu Suparjono di Kab. Bangkalan, Fakhrizal di Kab. Sampang, dan Dwi Wahyudi di Pulau Mandangin serta Pak Hanafi sekaligus penaggung jawab dari YDSF. Sementara dua DM lainnya, yaitu Eko Sumargo diantar oleh petugas dari Unesa ke Kab. Banyuwangi, dan Darrudin dijemput langsung oleh Kepala SD Kedungbanjar Kab. Lamongan. Kami berangkat dari KODIKMAR pukul 08.00 WIB, akan tetapi kami harus mengantar Ahmad Arrofi yang ditugaskan di Kab. Ponorogo ke terminal Bungurasih sebab orang yang menjemput sudah menunggu di sana. Menurut saya saat itu Kota Surabaya menjadi kota terpanas yang pernah saya singgahi. Namun sekitar satu setengah jam kemudian, saat mobil yang kami pacu memasuki jembatan Suramadu, sungguh saya merasakan bahwa Pulau Madura panasnya satu tingkat di atas Kota Surabaya. Sampai di Kota Bangkalan yang terkenal dengan Rumah Makan Bebek Sinjay, perjalanan berlanjut selama satu setengah jam untuk sampai di tempat tujuan. Itu waktu normal yang dibutuhkan, kami sempat kesasar karena kami masih mencari-cari tempatnya. Alhasil kami menyita waktu kurang lebih 30 menit. Berkat petunjuk penduduk setempat kami putar balik kemudian menyusuri jalan tanah berukuran pas lebar mobil. Masuk sekitar dua kilometer dengan jalan terjal, akhirnya tepat pukul setengah dua belas, kami sampai di MI Miftahul Huda Dusun Bendungan Ds. Durjan Kec. Kokop Kab. Bangkalan.
Kedatangan kami rupanya telah disambut oleh Muhammad Kholilullah selaku kepala sekolah beserta tokoh masyarakat setempat. Tidak dinyana kedatangan kami telah ditunggu sejak pukul 08.00 WIB. Dari situlah saya mengerti arti sikap dan perangai orang Madura yang keras, yaitu jiwa disiplin dan memiliki prinsip yang teguh. Ternyata Pak Hanafi berkirim kabar ke Ustd. Kholil bahwa rombongan berangkat pukul 06.00 WIB. Hal itulah yang membuat mereka dengan sabar menanti kedatangan kami, walau akhirnya kami datang berjam-jam kemudian.
Selesai acara penyambutan, saya dan Suparjono diperkenankan isirahat di tempat yang telah disiapkan untuk tempat tinggal Suparjono selaku DM 10 yang ditempatkan di sini. Ruangan itu berukuran 6 x 6 meter, dengan satu kamar disekat menggunakan triplek dan rak buku. Ruangan itu berada di samping kelas dan kantor guru. Ruangan tempat tinggal kondisinya masih mendingan dari pada ruang kelas yang dipakai siswa untuk belajar. Tempat tinggal itu sudah berlantai keramik, sementara dua ruang kelas yang dipakai belajar untuk lima kelas lantainya masih plesteran. Selain itu, tembok kelas juga belum diplester, jendela juga belum terpasang, serta satu meja dipakai untuk tiga siswa.
Perasaan saya kemana-mana, sebab sekolah di tempat tinggal saya, di Ponorogo walaupun daerah terpencil yang akses jalannya sangat sulit sekalipun, paling tidak sarana prasarananya tidak separah di sini. Betapa memprihatinkan nasib anak negeri di sini, saya masih yakin bahwa mereka adalah bagian tubuh dari pertiwi. Di tangan merekalah sebenarnya nasib bangsa kita berada, lalu bagaimana jika kondisi mengenaskan seperti itu menimpa anak-anak di Durjan? Saya trenyuh sekaligus salut pada Suparjono yang mengemban tugas membuka jendela impian anak-anak Durjan. Semoga, ilmu yang disampaikan DM dapat bermanfaat dan menjadi bekal anak-anak Durjan menggapai cita-cita tertinggi.

Desa Durjan, Kecamatan Kokop, Kabupaten Bangkalan
Kamis, 28 Agustus 2014
Disqus Comments
Copyright © 2018 Jatim Mengajar - All Right Reserved
Develop and Design by Ar Royyan Media