Oleh: Dwi Wahyudi
Berani jujur itu baik. Sebuah kalimat nasehat pendek yang penuh dengan makna. Setiap siswa mempunyai hak yang sama dalam proses belajar di sekolah. Prinsip hidup saya, jujur adalah nomor satu. Dalam hal apapun dan kapanpun.
Ketika mengerjakan ujian, saya
senantiasa mengerjakan dengan jujur sesuai dengan kemampuan atau persiapan.
Lebih baik mendapat nilai jelek dengan jujur daripada mendapat hasil bagus tapi
hasil kejahatan karena merampok hasil pemikiran orang lain.
Alhamdulillah, Alloh SWT memberi
kemampuan yang cukup kepada saya dalam menangkap materi pelajaran. Dari SD hingga
SMA, saya mampu bertahan di peringkat lima besar di kelas. Bagi saya jujur itu
adalah sederhana, mulia, dan prinsip hidup.
Di tahun pertama sebagai pengajar
Jatim Mengajar angkatan II, alangkah terkejutnya saya ketika UTS semester
ganjil 2014/2015. Waktu itu UTS matematika yang notabene pembuat soal dan
pengajar mapel tersebut adalah saya. Evaluasi yang di berikan kepada siswa yang
berbentuk ujian tertulis, itu bukanlah formalitas dan bukanlah satu-satunya
tolok ukur tingkat keberhasilan siswa.
Guru memegang peranan yang sangat
penting dalam pencapaian visi pembelajaran di kelas. Demi mencapai Kriteria
ketuntasan Minimal (KKM), seharusnya seorang guru haruslah bekerja keras.
Kemampuan siswa di tempat saya mengajar memang masih minim atau jauh jika di
banding dengan sampang daratan, apalagi jika di bandingkan dengan kota asal
saya, Malang. Beberapa siswa kelas 1 hingga kelas 3 masih belum bisa membaca.
Hal itu yang kadang dijadikan dalil
pembenaran adanya pembiasaan ketidak jujuran. Matematika itu bukan suatu hal
yang sangat sulit atau tidak mungkin untuk siswa menjawabnya.
Segala mata pelajaran bisa di
kuasai asal siswa berani jujur. Jujur dan berani menyampaikan hambatan
pemahaman, jika memang menemukan kesulitan dalam proses pembelajaran.
Umumnya, mengerjakan waktu UTS
tingkat MI dialokasikan waktu 70 menit atau dua jam pelajaran.
Tetapi yang
berlangsung di kelas 2 tidaklah demikian, sekitar 20 menit setelah bel masuk di
bunyikan. Terlihat sang guru penjaga ruang yang kebetulan wali kelas 2 keluar
kelas, segera disusul oleh siswa lainnya. Pertanda kalau mereka telah selesai
mengerjakan soal UTS. Kebetulan hari itu saya jadwal piket mengedarkan naskah
ke kelas dan membunyikan bel. Saya pun penasaran, langsung masuk ke kelas 2,
ada beberapa siswa yang masih bertahan di kelas.
Terlihat di papan tulis, jawaban
uraian dari soal yang saya berikan, tertulis dengan rapi. Saya bertanya kepada
salah satu siswa, “Siapa yang menuliskan ini?” (sambil menunjuk papan).
“Ibu S Pak”, jawab salah satu siswa.
Kenapa kok dituliskan jawabannya?
Itulah yang menjadi pertanyaan besar yang menancap di kepala saya. Hal itu
tidak langsung saya tanyakan kepada guru yang bersangkutan, sengaja saya simpan
dan saya utarakan di lain waktu ketika ada rapat evaluasi bersama.
Seminggu setelah rangkaian UTS
selesai, diadakan rapat evaluasi pelaksanaan UTS. Saya pertanyakan terkait hal
tersebut, alangkah heran sekali saya jawaban dari guru, hal tersebut sudah
menjadi hal yang biasa/lumrah di Pulau ini. Yang penting mereka tahu cara
mengisi soal UTS dan tahu modelnya ujian. Lagian nilai yang dimasukkan ke rapot
juga tidak murni. Pernyataan ini juga didukung oleh beberapa guru yang lain.
Hal ini sangat bertentangan dengan
apa yang saya yakini, saya yakin “bisa itu karena biasa”. Jangan membenarkan
dalil kebiasaan kalaupun itu memang tidak baik. Kalau terpaksa harus tidak
jujur, cukuplah dewan guru yang bertindak atas dasar asas kemanusiaan. Memungkinkan
sekali siswa jadi bertambah malas belajar, karena kalo ujian sudah di kasih
jawaban dari gurunya. Ketidakjujuran itu sederhana memang, tapi menyakitkan
hati saya. Semoga kualitas pengajar kedepan semakin baik dan mulai meperbaiki
hal-hal yang kurang baik.