Oleh: Eko Sumargo
Malam
itu saya masih berkutat dengan tugas lembur mempersiapkan soal-soal latihan
yang sesuai dengan kisi-kisi ujian. Kali ini saya tinggal menggandakan naskah
soal yang sudah selesai tersusun. Mesin fotokopi di sekolah saya bawa ke rumah dinas
agar saya bisa bekerja lebih lama. Listrik di sekolah dimatikan jam 10 malam.
Terdengarlah suara motor berhenti di
halaman rumah. Pengendaranya masuk. Aku mengenali siapa beliau. Itu adalah ayah
Wafi. Dengan ekspresi bingung dan panik beliau berbicara dengan kami. Tentunya
beliau berbicara dalam bahasa Madura. Namun kali ini aku sedikit memahami apa
yang dibicarakan. Kelihatannya ada sesuatu yang penting. Jika diringkas
percakapan beliau seperti ini; ayah Wafi sudah tidak tahan lagi melihat
kelakuan Wafi. Dia tidak mau membantu ayahnya bekerja di tegalan. Dia sering
minta uang dengan alasan untuk kepentingan sekolah. Uang saku kalau tidak Rp.
15.000 per hari marah-marah. Diberi Rp. 5.000 motor satrianya di bleyer-bleyer.
Selidik punya selidik ia sering nongkrong dengan teman-temannya sambil pakai
narkoba. Selama ini uang yang diberikan ayahnya ternyata bukan untuk bayar
sekolah tetapi untuk beli narkoba. Wafi sudah sering dinasehati ayahnya untuk berhenti namun tidak
mau bahkan memaki-maki ayahnya. Ayah Wafi minta tolong kepada sekolah untuk
membantu menasehatinya. Barang kali melalui nasihat sekolah dia bisa berubah.
Jika setelah dinasehati sekolah Wafi tidak berubah maka dia akan dihabisi
ayahnya. Hal ini disampaikan ayah Wafi dengan nada tinggi.
Mendengar hal itu kami mencoba
mendinginkan suasana. Kami sampaikan ke ayah Wafi bahwa kami sudah mengerti
maksudnya. Kami akan membantu. Kami minta doa agar biberi kekuatan untuk
menasehatinya. Ayah Wafi sudah kelihatan tenang dan mohon izin untuk pulang.
Aku melanjutkan mengopi naskah soal.
Dari luar rumah terdengar motor satria sedang parkir di halaman rumah. “Assalamualaikum” pengendaranya masuk
memberi salam. “waalaikumsalam” kami
menjawab. “eh Dol Wafi, sini duduk di
samping pak guru” kata kepala sekolah. “kamu
dari mana malam-malam begini. Gak takut ta pulang sendiri malam-malam”
kepala sekolah melanjutkan. “dari rumah
pak Mukid pak” jawab Wafi. “Dol
bapakmu mari tekok kene, cerita tentang kamu. Katanya kamu gak mau ngrewangi
nang tegalan. Kuwe sering njalok duwek nang bapakmu alasane gae mbayar sekolah
tapi teros kok tukokno obat mendem. Dol-dol, tak delok kuwe iki ganteng, emben
nek wes gedhe bakal akeh arek wedok seng ke sengsem karo kuwe. Awakmu yo gedhe
duwur. Nek wes gedhe kuwe iso dadi pulisi utowo tentara. Gelem ta gak kuwe dol”
kata kepala sekolah. “mau pak” jawab
Wafi singkat. “Nek gelem yo tinggalno
ngombe obat mendem. La nek kuwe terus-terusan nggae obat iku yo ra bakal
diterimo dadi polisi. Iso-iso kowe malah dicekel polisi. Dipenjara. Ra kiro
gelem polisi nrimo wong seng penggaweane mendem (mabuk)” kata kepala
sekolah menambahkan. Wafi hanya diam. Kepala sekolah melanjutkan “narkoba iku racon. Kuwe nggae narkoba podo
karo mangan racon. Ngrusak organ dalam; hati, ginjal, usus, jantung. Jek eleng
to kuwe wong kae seng omahe cidek kandang. Wong iku mati gara-gara opo,
gara-gara overdosis jamur letong to kuwe eroh dewe kan. Opo koyok ngunuku seng
arep mok tiru?”. Wafi hanya diam. Kelihatannya dia paham apa yang
disampaikan kepala sekolah. Matanya berkaca-kaca seolah-olah menyesali apa yang
telah dia lakukan.
“Dol,
waktu kuliah dulu, pak Eko punya teman yang jago bela diri. Aku sering lihat
anak itu latihan. Pak Eko diajari cara menendang yang benar. Tidak sembarang
tendangan tetapi tendangan yang bisa meremukkan tulang-tulang lawan. Aku
diajari bagian tubuh mana yang rawan jika diserang. Aku iso Dol ngremukno
tulang-tulangmu. Tapi itu tidak akan saya lakukan karena aku yakin kamu akan
berubah dan menjadi lelaki sejati” kataku menyambung nasehat kepala
sekolah. Ku lihat Wafi masih diam dengan mata berkaca-kaca.
“Dol,
apa yang ingin kamu harapkan dengan memakai narkoba. Ingin terlihat keren,
gaul, terlihat hebat, pemberani? Tidak Dol. Jika kamu ingin terlihat hebat maka
buatlah sebuah prestasi. Rasul mengatakan ‘sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya’. Prestasi yang
dimaksud adalah semua yang bermanfaat bagi masyarakat. Menjadi pemakai narkoba
tidak ada manfaatnya dan malah akan mengundang cacian masyarakat. Bahkan
menjadi sampah masyarakat”. Aku melanjutkan nasehatku.
“Dol,
apa yang kamu banggakan dari berteman dengan pecandu narkoba. Apakah mereka
perhatian padamu, peduli padamu, mengerti perasaanmu, hanya mereka yang bisa
menawarkan kesetiakawanan padamu. Itu semua bohong Dol, mereka tidak tulus
melakukan itu semua padamu. Ada maksud tersembunyi yang tidak kamu ketahui. Ada
udang dibalik batu. Mereka berteman denganmu karena hanya inginkan uangmu. Saya
lihat kamu anak orang yang cukup mampu di sini. Lihat, kamu satu-satunya anak
di sekolah yang dibelikan motor, iya kan? Jika mereka benar-benar peduli
mengapa mereka tidak mengajak sekalian si A, si B, atau si C? semakin banyak
kan semakin asyik. Kamu tahu mengapa, karena si A, B, dan C anak orang kurang
mampu”. Saya menambahkan.
“Lho
saya tidak pernah bayar pak, mereka yang selalu traktir saya” kata Dol Wafi
membela diri. Saya menjawab “iya itu
cuman di awal. Setelah kamu kecanduan mereka tidak akan memberi gratis lagi.
Kamu harus membeli dengan harga mahal. Itu adalah modus mereka untuk
mendapatkan pelanggan baru. Jika ada orang yang bukan pecandu narkoba disuruh
membeli dengan harga yang begitu mahalnya mana mungkin mau. Kamu dijadikan
target karena kamu dirasa bisa membeli jika sudah ketagihan”. Dol Wafi diam
tidak bisa berargumen lagi. Ku biarkan dia sejenak diam untuk mencerna maksud
kalimat-kalimat yang telah saya kemukakan. Setelah ia terlihat siap untuk
mendengarkan argumen baru saya berkata “Dol,
narkoba itu bukanlah soal rasa. Itu hanya soal bisnis dan bisnis. Bisnis bagi
para bandar, bisnis bagi para pengedar. Ini soal jual-beli. Meskipun ada gaul,
perhatian, kesetiakawanan itu hanya bungkus saja. Intinya tetap di bisnis.
Jangan sampai kamu jadi korban bisnis mereka”.
Dol Wafi berjanji dihadapan kami
bahwa dia tidak akan bergaul dengan pengedar narkoba. Dia berjanji tidak akan
memakai lagi. Jika diajak lagi untuk mencoba narkoba dia akan menolak. Kami
senang mendengar janjinya. Saya menambahkan “Dol, jika kamu menolak diajak mereka terus kamu diancam, segera cari pak
Eko. Pak Eko akan ajak duel mereka. Saya tidak akan kalah dan mereka akan
mampus. Pak Eko akan ajak pak Mukid carok lawan mereka. Wong sak Sukamade pasti
mendukung pak Eko”. Dengan langkah mantap Wafi minta izin pulang. Aku
berharap dia memegang teguh janjinya. Aku berharap kata-kata kami bisa menembus
hatinya.
Permasalahan ini kami bahas dengan
teman-teman guru yang lain di sekolah. Kami sepakat membentengi anak didik dari
bahaya narkoba. Kami akan menghimbau ke seluruh anak didik agar tidak merokok
karena merokok bisa menjadi langkah awal memakai narkoba. Memang tidak semua
perokok adalah pecandu narkoba tetapi semua pecandu narkoba pasti perokok. Kami
akan membuat himbauan tertulis yang dipasang di luar kelas agar bisa dibaca
yang lain sekaligus sebagai pengingat bagi semua. Usut punya usut orang yang
mengedarkan narkoba sudah tidak tinggal di Sukamade lagi. Menurut kabar dia
pergi ke Malaysia untuk bekerja sebagai TKI. Saya senang mendengar berita itu.
Kami memantau
perkembangan Dol Wafi. Dia sudah tidak berhubungan lagi dengan pengedar. Dol
Wafi sudah normal lagi seperti teman-temannya yang lain. Kami senang mendengar
hal itu.