Menuju Rapah Ombo : Perkampungan di Ujung Jombang

Oleh : Achmad Shocheb


Sentralisasi pembangunan yang berlangsung selama puluhan tahun semasa Orde Baru, disadari atau tidak memberikan persepsi kepada masyarakat bahwa kemajuan peradaban telah menyentuh seluruh bagian di Pulau Jawa. Berbagai pembangunan yang telah dilakukan menjadikan pulau Jawa sebagai pusat peradaban Indonesia. Tidak heran jika banyak yang berpikir bahwa sudah tidak mungkin ada daerah yang tertinggal di pulau ini.

Begitu juga sopir taksi online yang saya tumpangi ketika berangkat menuju kantor Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) pertengahan Juli lalu. Saya menceritakan bahwa saya akan mengikuti Program Jatim Mengajar yang diadakan oleh YDSF bersama dengan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) selama satu tahun ke depan. Dan sebagai persiapan, saya dan peserta yang lain akan mengikuti kegiatan prakondisi di sebuah desa terpencil di Kabupaten Jombang.

Jombang, mas? Sebelah ndi ono daerah terpencil nang Jombang, mas? (Sebelah mana ada daerah terpencil di Jombang, Mas?)” Beliau menimpali setengah tidak percaya dengan apa yang saya ceritakan.

Saya sendiri pun tidak bisa bercerita banyak kepada pak sopir. Selama saya berkuliah di Jogja, sudah belasan kali saya melewati Jombang ketika perjalanan berangkat atau pulang dari Jogja. Sejauh yang saya lihat, tidak ada tanda-tanda ketertinggalan dari kabupaten yang tidak terlalu jauh dari ibu kota Jatim itu.

Saya pun masih berpikir bahwa mana mungkin ada daerah tertinggal di Pulau Jawa, dan di wilayah kabupaten yang jaraknya tidak sampai 100 km dari Surabaya. Hingga akhirnya ketika prakondisi memasuki hari ke-8, dan kami seluruh peserta diberangkatkan ke dusun Rapah Ombo, Pojok Klitih, Plandaan, Jombang.

Truk yang kami tumpangi berangkat sekitar pukul 09.00 WIB dari kampus Unesa Lidah Wetan, Surabaya. Truk marinir tua yang ditumpangi 15 orang itu, melaju menuju Jombang melalui sisi selatan Kabupaten Gresik. Mulai Kecamatan Menganti, Kecamatan Benjeng, Kecamatan Balongpanggang, lalu masuk ke wilayah Kabupaten Mojokerto melalui Kecamatan Dawar Blandong.

Jalan yang kami lewati relatif sepi. Bahkan, di sepanjang jalan menuju Mojokerto hanya terdapat hutan-hutan di kanan kiri jalan. Jalan yang lurus dan lengang tersebut membuat kami yang awalnya ramai bercanda, menjadi mulai mengantuk. Sebagian besar dari kami tertidur dan terbangun ketika truk sudah diparkir di depan Balai Desa Klitih 2 jam kemudian.

Rapah Ombo adalah salah satu dusun di area pemerintahan Desa Pojok Klitih. Meskipun dalam satu desa, balai desa Klitih dan dusun Rapah Ombo terpisah pada jarak yang lebih jauh dari pada terpisahnya kampus Unesa Lidah Wetan dan kampus Unesa Ketintang. Jaraknya sekitar 11,5 km dengan medan jalan tanah berbatu yang sangat terjal.

Ketika musim kemarau, jalan tersebut dapat dilalui sekitar satu jam menggunakan motor. Tidak semua jenis motor dapat melintas. Harus motor trail, atau motor bebek yang telah dimodifikasi untuk kondisi jalan berbatu. Mengendarainya juga perlu kegerampilan khusus. Jika bukan masyarakat asli setempat, sangat tidak direkomendsikan untuk datang menggunakan motor.

Lain cerita ketika musim penghujan tiba. Jalan tanah berubah menjadi jalan berlumpur yang penuh hambatan. Akses keluar masuk desa hampir sama sekali tidak dapat dilalui meskipun jika kita datang menggunakan mobil berjenis SUV.

Kami sendiri memilih untuk datang ke Rapah Ombo dengan berjalan kaki dari Balai Desa Klitih. Ibu Kepala Desa awalnya kaget mendengar rencana kami berjalan kaki menuju ke dusun tersebut. Bukan hanya karena kami belum pernah ke Rapah Ombo, tapi wajah lelah kami yang mungkin menambah kesangsian beliau.

Saya sendiri merasa sangat lelah. Kegiatan prakondisi sudah dilaksanakan selama delapan hari, dan tanpa satu hari pun ada waktu untuk bersitirahat. Malam sebelumnya juga tidak saya gunakan untuk bersitirahat dengan maksimal, karena saya harus berkemas dan megerjakan beberapa tugas yang harus diselesaikan.

Sebelum berangkat, kami terlebih dahulu melaksanakan ibadah sholat Dzuhur sekaligus sholat Ashar di musholla terdekat. Saat seperti ini saya sangat merasa bersyukur Islam memberikan berbagai macam keringanan ketika seseorang sedang bepergian jauh. Tentu akan sangat tidak efektif jika kita harus berhenti setiap kali memasuki waktu sholat. Apalagi untuk waktu-waktu yang berdekatan seperti Dzuhur dan Ashar, atau Maghrib dan Isya’.

Musholla yang kami tempati untuk sholat tidak terlalu besar. Tempat wudhu berada di sisi utara musholla. Pengairannya sangat lancar. Tapi kami harus menimba untuk mengisi bak penampungan air terlebih dahulu sebelum bias menggunakannya untuk berwudhu.
Kami menimba secara bergantian. Saya sendiri sangat akrab dengan jenis kamar mandi seperti itu. Di salah satu sisi kamar mandi, terdapat semacam corong terbuat dari semen untuk mengalirkan air ke penampungan. Agar pengisiannya mudah, kamar mandi biasanya diletakkan berdekatan dengan sumur, sehingga ketika menimba, kita tinggal menuangkan saja embernya ke penampungan lewat corong tersebut.

Dulu sewaktu kecil, setiap pagi saya dan kakak-kakak saya selalu bergantian menimba dengan cara seperti itu. Selalu ada keasyikan tersendiri ketika mendapatkan tugas mengisi air.
Kamar mandi yang dekat dengan sumur sebaiknya tidak memiliki wc jika tidak ada jalur pembuangan kolektif. Umumnya, masyarakat membuat septic tank berdekatan dengan wc, sehingga akan sangat memungkinkan keberadaan sumur pembuangan itu mencemari sumur bersih yang ada di dekatnya.

Adanya teknologi pompa air memang membuat kita tidak perlu memposisikan kamar mandi berdekatan dengan sumur, sehingga septictank pun dapat diletakkan jauh dari sumur. Namun, sebenarnya masalahnya tidak begitu saja selesai. Sumur kita mungkin jauh dari septictank rumah kita sendiri, tapi belum tentu jauh dari septic tank milik tetangga.

Karena itu, membangun WC sebenarnya bukan masalah individu atau sekelompok keluarga yang dapat dilakukan dengan bebas. Masalah wc adalah masalah yang menyangkut hajat hidup banyak orang sehingga harus direncanakan dan dibangun secara kolektif.

Sayangnya, masalah toilet ini sering tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat sendiri. Bahkan, di desa-desa tertentu masih banyak sekali rumah-rumah yang tidak memiliki wc. Islam sangat mengajarkan hidup sehat dan bersih. Itulah alasan mengapa seluruh kitab fiqih selalu memulai pelajarannya dengan bab “thoharoh” atau bersuci.
***

Sesudah sholat, kami mampir di salah satu warung makan yang letaknya tidak jauh dari balai desa. Panitia telah memesan berbagai macam makanan di sana. Ada pepes, sayur asam, ayam, lele, tempe, dan tentu tidak ketinggalan : sambal.
Masakan desa selalu punya cita rasa yang khas. Dan Indonesia, punya banyak sekali menu masakan desa. Menu-menunya juga sangat sehat karena semuanya diolah secara alami dan menggunakan bumbu-bumbu yang juga alami.

Saat menikmati makan seperti ini, saya seringkali merenung mengapa makanan-makanan dari luar seperti Jepang, Korea, Thailand, Amerika sangat subur di Indonesia. Jepang dikenal dengan masakannya yang sehat. Padahal, mie ramen menurut saya tidak ada sehat-sehatnya, rasanya juga nggak enak-enak amat. Soal mie saya lebih suka makan bakmi jowo.

Makanan-makanan cepat saji  juga sangat subur di Indonesia. Orang-orang Indonesia sendiri juga mendirikan outlet-outlet yang menyediakan makanan-makanan berjenis fas food tersebut. Namanya juga fast food, menunya tentu sangat sederhana. Hanya ayam goreng dengan saus sambal dan nasi yang dicetak bundar. Jangan tanyakan soal nilai gizi, tentu sangat jauh jika dibandingkan dengan sayur asam, sop, tumis kangkung, dan lain sebagainya.

Selama kegiatan prakondisi, saya sebenarnya sedikit mengurangi makan untuk menyeimbangkan berat badan. Tapi siang itu saya makan dengan sangat lahap. Selain karena makanannya super lezat, saya tidak mau kelaparan di tengah perjalanan, karena diperkirakan kami akan berjalan selama 4-5 jam. Jika saya makan dengan porsi kecil, saya biasanya sudah merasakan lapar 2-3 jam kemudian.

Setelah puas mengisi perut, kami bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Sedikit pemanasan dengan melenturkan otot leher, tangan dan kaki sangat diperlukan sebelum memulai perjalanan. Kita juga mempersiapkan bekal minum sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Saya sendiri membawa dua botol air mineral ukuran 600 ml.

Perjalanan dimulai dengan melalui jalan kampung. Selain ditemani panitia, kami juga ditemani salah seorang pemuda dari desa setempat. Kami mengenalnya dengan nama ‘Mas Danang.’ Orangnya masih sangat muda, sepertinya tidak jauh dari umur kami peserta Jatim Mengajar sehinnga cukup mudah untuk berbaur.

Ada yang unik selama melewati jalan kampung ini. Banyak yang baru sadar bahwa sebenarnya kami berjalanan melintasi dua wilayah kabupaten. Kami memulai dari Desa Klitiih, Kabupaten Jombang, setelah berjalanan ke arah barat sejauh 200 meter saja, kami sudah sampai di Kabupaten Nganjuk, tepatnya di Kecamatan Pale. Setelah kami belok ke arah utara sejauh sekitar 100 meter, barulah kami kembali memasuki wilayah Kabupaten Jombang. Masih di desa yang sama yaitu Desa Pojok Klitih yang memang luasnya naudzubillah. Bagaimana tidak, desa ini membawahi 14 padukuhan, belum ditambah dengan hutan jati yang terhampar luas di luar area pemukiman penduduk.

Setelah melewati jalan kampung, kami mulai memasuki area hutan jati. Seperti yang saya ceritakan di atas, jalannya merupakan jalan tanah setapak sedikit berbatu. Berbatunya hanya sedikit jadi bisa dibilang lebih buruk dari jalan “makadam”. Sebagian besar hanya tanah yang tidak ditumbuhi rumput, persis seperti jalur pendakian di berbagai gunung di Pulau Jawa.

Baru memasuki area hutan jati, kami sudah disambut dengan beberapa ibu-ibu yang sedang duduk-duduk di bawah pohon. Mereka bukan sedang arisan, apalagi ngerumpi. Ibu-ibu tangguh ini sedang mengembala sapi.

Sapinya yang kami lihat ada sekitar 10 atau 11 ekor. Sapi-sapi itu dilepas begitu saja di area hutan. Lehernya biasanya diberi lonceng atau kentongan agar ketika bergerak dapat diketahui posisinya meskipun tidak terlihat karena tertutupi pepohonan jati.
Sapinya bisa saja berjalan-jalan menyiangi rumput di sekitar sang pengembala duduk mencari keteduhan. Namun, bisa juga berjalanan sangat jauh. Saya pernah sekali menemuinya ketika perjalanan pulang dari Rapah Ombo. Ada seekor sapi yang sedang menghalangi jalan. Padahal, waktu itu kami sudah mninggalkan Rapah Ombo selama 30 menit perjalanan menggunakan mobil.

Ibu-ibu pengembala sangat hangat menyapa kami, khas masyarakat desa yang ramah dan menyenangkan. Mereka menegur kami hendak pergi ke mana, dan tentu saja kami serentak menjawab, “Rapah Ombo, bu”.
Walah mas… taseh tebeh (walah mas, masih jauh)”

Kami tertawa-tertawa saja dan setiap peserta menikmati perjalanan dengan caranya masing-masing.
Selama perjalanan, tidak ada pemandangan lain selain hutan jati. Kanan hutan jati, kiri hutan jati, depan hutan jati, belakang pun hutan jati. Bahkan ketika ketika kami berada di atas bukit dan melihat ke bawah, yang kita lihat adalah hutan jati.

Mesikpun namanya hutan jati, bukan berati tidak ada tumbuhan lain selain jati. Sebuah hutan disebut dengan hutan jati adalah karena tumbuhannya didominasi oleh pohon jati. Di sela-sela pohon yang memiliki nama ilmiah Tectona grandis ini, biasanya ditumbuhi oleh semak belukar. Ada juga beberapa jenis pohon lain seperti mangga, nangka dan pohon-pohon lain yang ditanam warga beberapa tahun terakhir.

Munculnya hutan jati yang merupakan salah satu komoditas penting di zaman kolonial belanda ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Hutan jati telah dikelola dengan baik di Bojonegoro pada abad ke-16. VOC terus menguasai hutan-hutan jati tersebut yang tersebar di sebelah utara Jawa Tengah dan Jawa Timur sampai abad ke-18. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil alih penguasaan hutan di awal abah ke-19 (Pohan, 2016).

Mengingat lokasinya yang berada di perbatasan Jombang dan Bojonegoro, besar kemungkinan hutan jati yang sedang kami lewati adalah kawasan hutan warisan zaman Belanda. Hutan-hutan semacam ini sekarang dikelola oleh negara melalui Perum Perhutani.

Kami berjalanan berbanjar sambil ngobrol-ngobrol ringan. Satu jam kemudian kami berhenti untuk beristirahat sejenak. Rupanya kami berjalanan cukup cepat. Baru satu jam perjalanan, kami sudah menempuh jarak 4,7 km. Kami istirahat sekitar 10 menit sekedar untuk mengisi kembali cairan tubuh yang mulai terdehidrasi.

Sekitar 30 menit sebelum sampai di Rapah Ombo, kami menyebrangi sebuah sungai. Tidak ada jembatan dan memang tidak perlu jembatan untuk menyebrangi sungai tersebut. Di musim kemarau , sungainya mati. Hanya ada sedikit genangan-genangan air di beberapa titik.

Apabila musim hujan datang, sungai tersebut bisa sampai meluap sehingga semakin mempersulit akses jalan dari Pojok Klitih menuju Rapah Ombo. Jika musim hujan, hanya satu cara yang bisa dilakukan untuk melewati jalan ini : berjalan kaki. Tentu lengkap dengan resiko becek dan terpeleset akibat medan yang licin.

Setelah melewati sungai, jalannya penuh tanjakan. Ada sekitar dua atau tiga tanjakan, hingga kemudian melewati turunan tajam.
Berjalanan di jalan menanjak ataupun menurun sama-sama beratnya. Ketika menjak kita membutuhkan energi ekstra karena kaki harus memberikan daya dorong tubuh ke atas. Dan ketika menurun, kaki harus menahan tubuh agar tidak terpelosok. Kami mensiasatinya dengan sedikit berlari ketika melewati turunan.

Sudah lebih dari 3 jam kami berjalanan. Turunan terakhir cukup curam , tapi kami sangat bahagia. Dari atas tanjakan itu, terlihat atap-atap rumah warga dan dinding-dinding yang terbuat dari kayu di tengah lembah yang dikelilingi perbukitan hutan jati. Para peserta berlari kecil, merasa gembira sudah sampai tujuan dengan selamat.

Saya sendiri masih terdiam melihat rumah-rumah kayu tersebut.
“mengapa mereka membuat perkampungan di tengah hutan?”

(bersambung)
Disqus Comments
Copyright © 2018 Jatim Mengajar - All Right Reserved
Develop and Design by Ar Royyan Media