ROFI'ATUL ALIYAH


Perkenalkan nama saya Rofi’atul Aliyah saya biasa dipanggil “Rofik” untuk lingkup formal, dirumah saya dipanggil “lia” namun untuk teman nongkrong biasa dipanggil “opick”. Saya lahir di desa Tongas Wetan, Probolinggo (22 tahun yang lalu). Emak dan bapak saya adalah seorang buruh tani. Saya anak bungsu dari 3 bersaudara. Menjadi anak bungsu tidak lantas menjadi saya sosok yang dimanja. Sejak SD orang tua telah mengajarkan saya “jika mau sesuatu, maka berdoa dan berjuanglah”.  Terakhir saya mendapat uang saku itu kelas 5 SD sebesar 500 rupiah setelah itu saya tidak pernah lagi diberi uang saku karena memang ekonomi keluarga cukup untuk kami makan sehari-hari. Mengingat kedua kakak saya kala itu juga masih mengenyam pendidikan SMA. Bapak saya tamatan SD sedangkan Emak bahkan harus putus sekolah ketika kelas 2 SD karena harus kerja menafkahi ke delapan saudaranya. Namun prinsip kedua orang tua saya yaitu “Ibu Bapak tidak memiliki apapun untuk diberikan, semoga dengan menyekolahkan kalian, kelak kalian bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama” itu yang selalu orang tua sampaikan kepada saya. 

Sejak kecil saya memang memiliki kemampuan akademik yang cukup baik tidak hanya di sekolah umum akan tetapi juga di madrasah diniyah. Alhamdulillah SD selalu masuk 3 besar bahkan ketika kelulusan nilai praktikum IPA mendapatkan nilai sempurna “10” hingga awalnya saya yang tidak ikut rekreasi, atas kebijakan sekolah saya diberikan kesempatan ikut rekreasi tanpa dipungut biaya. Tahun 2009 saya masuk SMPN 1 Tongas. Jarak sekitar 4 km dari rumah. Kala itu sudah booming yang namanya angkutan umum. Teman- teman banyak memilih naik angkot ke SMP. Transpot PP kala itu sebesar Rp 4.000,00. Namun saya tidak punya uang saku kalau mau naik angkot sehingga 3 tahun saya sepedaan terus alias “ngontel”. Disini perjuangan amat terasa, sering sekali ketika berangkat terutama ketika pulang sepeda rusak karena keisengan teman-teman yang usil mulai dari ban bocor, sadelnya lepas, rantainya putus. Sedangkan setibanya di rumah saya harus berangkat lagi untuk sekolah Tsanawiyah di dekat rumah. 

Predikat “telat” sudah melekat di benak2 teman-teman. Ya saya akui tiba di rumah pukul 14.30 WIB. Ashar saya berangkat ke madrasah, ustad-ustad sudah memaklumi kondisi saya dan mendukung saya untuk tetap sekolah madrasah meskipun saya hanya bisa mengikuti 1 jam pelajaran saja.  Kepercayaan itu, tidak saya sia-siakan, saya tetap berjuang untuk berprestasi di madrasah. Hingga pada akhirnya saya lulus SMP tahun 2012. Ketika itu, saya bimbang ingin sekali saya masuk pondok pesantren mengenyam pendidikan di pondok. Orang tua tidak mempermasalahkan, namun kakak saya yang laki-laki memberi pemahaman lain. Kakak saya yang pertama namanya Faridatul Hasanah, ketika saya SMP sudah menikah, sedangkan yang laki-laki merantau ke Papua sehingga dirumah hanya ada bapak, emak dan saya. Kalau saya ke pondok siapa yang akan bantu-bantu di rumah, antar jemput dari sawah, dll. Akhirnya keinginan itu saya pendam. Keluarga putuskan agar saya lanjut ke SMA N 1 Tongas. 

Benar, Ridhonya Alloh Ridhonya orang tua. Disini titik balik saya. Saya mulai mengenal cita-cita, organisasi, kompetisi, bahkan perencanaan hidup. Prestasi demi prestasi saya torehkan mulai dari mewakili sekolah dalam Math competition, English Compettition, Karya Ilmiah Remaja, Pidato 3 Bahasa (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab), Adiwiyata dan Debat Perencanaan APBD Probolinggo. Mengapa saya begitu antusias? Rumah saya dekat dengan sekolah hanya berjarak 50 meter sehingga memudahkan saya ikut berbagai “event”. Organisasi yang saya ikuti ketika SMA meliputi OSIS, Remus, ECC (English Conversation Club), Adiwiyata, dan club bela diri. 

Ketika SMA, saya terkendala untuk melanjutkan madrasah aliyahnya karena pulang 15.30 WIB belum lagi kalau ada les. Sejak memasuki SMA saya hanya aktif di ngaji malam hari di mushola terdekat dan belajar agama ke bapak (Bapak alumusnus Pondok Kyai Hamid Pasuruan). Biaya Les saya tidak minta ke orang tua kecuali saya tidak pegang uang sama sekali saya akan memintanya. Saya mengumpulkan uang pembinaan lomba yang pernah saya ikuti atau istilahnya “nyelengi” dan dibantu juga beberapa kali jualan di sekolah tidak rutin. Awal masuk SMA, saya bertekad berjanji pada diri saya sendiri bahwa “saya hingga lulus harus juara 1”. Tentu itu bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan mengingat semakin tinggi jenjang semakin sulit materi dan teman semakin luas. Salah satu tujuannya agar saya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, sudut pandang saya kala itu saya ingin kuliah. Orang tua sempat ragu ketika saya menyampaikan niatan saya untuk melanjutkan sekolah, dan lagi lagi ekonomi menjadi faktornya.

Pemahaman demi pemahaman saya coba sampaikan dan alhamdulillah selagi itu baik akan terus didukung. Syukur yang tiada henti saya diterima di UNESA prodi Pendidikan Fisika melalui jalur beasiswa. Kecintaan saya dengan dunia ilmiah memang tidak bisa terbendung selama kuliah dari semester 1 saya mengirimkan penelitian saya ke DIKTI melalui Program Kreativitas Mahasiswa hingga pada semester 6 inilah puncak penelitian saya di akui oleh DIKTI bahkan melalui penelitian ini untuk pertama kalinya mimpi saya naik pesawat terwujud. “It’s amazing”seruku dalam hati.

Selama kuliah saya aktif di HMJ Fisika dan UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Islam). Dua organisasi ini mengajarkan saya banyak hal dan telah memberikan ilmu serta pengalaman yang luar biasa yang dapat mengingatkan saya ini menjadi pribadi lebih baik dari sebelumnya dan itu sangat terasa ketika saya dihadapkan pada kehidupan bermasyarakat. Jenjang sarjana alhamdulillah bisa saya selesaikan kurang dari 4 tahun. Sehingga sebelum wisuda saya sudah disibukkan melamar lowongan guru dengan bermodal SPK dan transkip sementara. Seminggu sebelum tes Jatim Mengajar saya ke terima di sekolah favorit di daerah Pucang Surabaya. Akan tetapi, saya terkendala izin orang tua hingga akhirnya saya meminta izin mengundurkan diri sekaligus menawarkan diri membantu menggantikan guru yang sedang cuti selama seminggu.  Sebelum tes wawancara saya sudah menyelidiki bagaimana program Jatim Mengajar karena saat itu masih asing, yang saya tahu kala itu SM3T. Usut punya usut pengalaman saya selama berorganisasi di UNESA cukup membantu karena telah mengikuti kegiatan pengabdian beberapa kali (pernah jadi peserta kemudian panitia penyelenggara, bahkan menjadi steering comitee) selain itu saya selama kuliah di Surabaya telah di biayai pemerintah jadi kini saatnya saya mengabdi untuk masyarakat negeri ini melalui jalur pendidikan. Pandidikan menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Melalui pendidikan kita bisa memahami makna “ngewongno uwong”.

Seperti kutipan dari bung Karno: “Beri saya 1000 orang tua maka akan saya pindahkan gunung semeru. Beri saya 10 pemuda maka akan saya guncangkan dunia. Ujung tonggak kemerdekaan negeri ini terletak pada kaulah pemuda.

Sekian biografi singkat saya, semoga memberikan kebaikan untuk para pembaca.
Disqus Comments
Copyright © 2018 Jatim Mengajar - All Right Reserved
Develop and Design by Ar Royyan Media